Tsunami 100 Meter Hantam Ambon, 2.000 Orang Tewas, Orang-orang Merinding
Pada tahun 1653, seorang ahli botani Jerman bernama Georg Eberhard Rumphius tiba di Ambon setelah berbulan-bulan berlayar dari Portugal.
Ia tiba di daerah yang hanya ia kenal dari cerita orang setelah mengembara melalui Selat Magelhaens dan terombang-ambing oleh Samudera Atlantik yang ganas.
Rumphius turun sebagai tentara untuk menjaga Ambon selama waktu terbatas. Sehari-hari, ia memantau populasi dan mendukung eksploitasi VOC rempah-rempah.
Namun, otoritas VOC menganggap pekerjaan Rumphius tidak berhasil. Sebaliknya, daripada memanggul dan mengokang senjata, dia berkonsentrasi pada studi alam dan masyarakat Ambon. Karena itu, dia ditugaskan ke dinas sipil.
Rumphius menyambut migrasi ini dan belajar tentang budaya dan alam. Upaya ini akhirnya membuat Rumphius tercatat sebagai naturalis terkenal dalam sejarah sains. Setelah itu, dia menulis tentang apa yang dia lihat di alam dalam buku yang tebal, Herbarium Amboinense. Buku itu berbicara tentang kesaksiannya tentang bencana alam yang terjadi di Ambon pada Sabtu, 17 Februari 1674, serta tentang makhluk hidup. Seperti biasa, Rumphius bekerja dari terbit matahari hingga tenggelam.
Sampai jam menunjukkan pukul 19.30 waktu setempat, tidak ada hal yang tidak biasa. Di Kastil Victoria, Ambon, lonceng-lonceng bergerak sendiri tanpa angin dan hujan. Banyak orang, termasuk Rumphius, memikirkan apa yang terjadi. Namun, semua itu digerakkan oleh tanah yang bergerak seperti air. “Orang jatuh ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan.” Rumphius mengatakan, “Setelah gempa mulai, seluruh garnisun, kecuali beberapa orang yang terperangkap di atas benteng, mundur ke lapangan di bawah benteng.”
Mereka pergi ke lapangan besar dengan harapan bisa tetap hidup. Sayang, itu adalah kesalahan. Beberapa detik kemudian, air laut tiba-tiba naik ke daratan. Prakteknya, semua orang berlari ke tempat yang lebih tinggi untuk menyelamatkan diri. Air tingginya melampaui rumah dan menyapu seluruh desa. Rumphius ingat batuan koral terdampar jauh dari pantai.
Pria yang lahir pada tanggal 1 November 1627 adalah salah satu dari sedikit orang yang dapat berlari dengan kecepatan luar biasa ke tempat yang lebih tinggi. Di sisi lain, 2.322 orang lain tertimbun reruntuhan dan tergulung air laut di Ambon dan Pulau Seram. Dari ribuan korban, istri dan anak perempuan Rumphius adalah dua.
Sejarah Gempa dan Tsunami Terburuk
Kesaksian Rumphius membuka tabir sejarah bencana alam Indonesia ratusan tahun setelah gempa. Menurut BMKG, ini adalah tsunami tertua di Nusantara dan yang pertama dalam sejarah.
Menurut Daryono, Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, dalam webinar “Peringatan Tsunami Ambon 1674” pada Selasa (18/2/2025), “Gempa Ambon 1674 merupakan gempa dan tsunami dahsyat yang pertama dalam catatan Nusantara.”
Menurut penelitian saat ini, gempa tersebut diperkirakan memiliki kekuatan sebesar M7,9 dan menyebabkan kerusakan yang signifikan. Bukan hanya karena getaran gempa itu sendiri, tetapi juga karena konsekuensi jangka panjangnya. Tanah Ambon mengalami likuifaksi, atau kehilangan kekuatan tanah, sebagai akibat dari gempa bumi. Semua yang ada di atasnya juga dihisap oleh tanah. Diceritakan oleh Rumphius bahwa “tanah bergerak naik turun seperti lautan” adalah buktinya. Perkiraan tsunami akan menggulung Ambon dengan ketinggian 100 meter. Daryono mengatakan bahwa getaran bukan satu-satunya penyebab tsunami besar di Ambon; gempa bumi menyebabkan tanah longsor di pantai. Jika kita memperhatikan kasus tsunami di Indonesia. (Misalkan) jika kita melihat tsunami yang terjadi di Flores pada tahun 1992 dengan magnitudo hanya 7,8 skala magnitudo, tsunami itu tidak akan sedemikian mengerikan jika magnitudonya mencapai 30 meter dan melompati pulau babi. Bahkan Tsunami Aceh tidak memiliki magnitud yang sama. Daryono menyatakan bahwa longsoran pantai memainkan peran penting dalam pembentukan tsunami.
Oleh karena itu, Tsunami Ambon pada tahun 1674 menunjukkan bahwa longsor adalah sumber bahaya tsunami yang signifikan di Indonesia. Tsunami-tsunami selanjutnya di masa kini sering disebabkan oleh gempa yang diikuti longsoran pantai, yang menghasilkan gelombang tertinggi sepanjang sejarah Nusantara.