Subang Memperkenalkan Area yang Hilang Karena Laut Jawa

Sebuah keajaiban alam secara bertahap muncul di pesisir utara Subang. Warga Desa Mayangan, Kecamatan Legonkulon, melihat kembali tanah mereka yang dulu hancur oleh ganasnya Laut Jawa. Sepertinya ini adalah jawaban atas doa dan harapan mereka.
Pulau Baru bukanlah Pulau Burung, seperti yang disebut masyarakat setempat. Warga Legonkulon hidup dari deretan tambak. Namun, antara tahun 2004 dan 2006, tambak-tambak itu dihapus dari peta oleh abrasi dan air pasang yang berkepanjangan, meninggalkan hanya pepohonan mangrove yang kokoh di tengah laut.

Pada 12 Oktober 2024 lalu, tokoh Desa Mayangan Ncay Caswita mengingatkan, “Dulunya ini tambak, ini sungainya. Sungai kecil. Ini awalnya tambak, sekarang sudah enggak ada yang dipakai.”

Cirta Pulau Burung Tahun 2022 dan Saat Masih Menjadi Tambak (2002) menunjukkan bahwa Pulau Burung pada awalnya adalah tambak dan memiliki pantai yang sama dengan area wisata Pondok Bali.

Saat ini, jarak antara Pulau Burung dan Pondok Bali sekitar 1,47 kilometer, menurut pengukuran Google Earth, meskipun citra satelit Geoeye tahun 2002 menunjukkan bahwa Pulau Burung dulunya merupakan area tambak yang terhubung dengan kawasan wisata Pondok Bali.

Kembalinya ke daratan ini tidak tanpa alasan. Salah satu BUMD di Jawa Barat melakukan penanaman mangrove dan pemasangan alat pemecah ombak (APO). Mangrove tidak hanya mencegah erosi, tetapi juga menyerap karbon, menjernihkan air, dan memberikan habitat alami bagi banyak hewan.

Meskipun matahari cukup cerah di sore hari, perjalanan melalui hutan mangrove memberikan sensasi sejuk. Mangrove juga membuat angin di tempat itu lebih lembut karena keberadaan mereka meredam angin kencang. Suara burung yang terdengar di antara pepohonan mangrove seolah menyambut kami.

Ada kisah unik di balik nama “Pulau Burung”. Ncay menceritakan bahwa ketika dia bertugas sebagai penjaga keselamatan di kawasan wisata Pondok Bali, banyak pengunjung yang datang. Jadi, saat abah membawa toa untuk memberi tahu pengunjung, banyak burung yang beterbangan di sekitar area tersebut. Dia mengatakan bahwa itulah asal nama Pulau Burung.

Ncay mengingatkan, “Jadi waktu abah membawa toa untuk memberikan peringatan, karena yang piknik ke tengah (laut) lagi dan lagi. Abah khawatir karena dulu ada yang tenggelam, jadi sama abah dialihkan ke sana.”

Ncay tertawa sambil berkata, “Bapak, ibu kalau mau mandi enaknya ke Pulau Burung, nah dari sana berangkatlah naik dua perahu yang dibawa pak Warim dan pak Udin. Nyampai ke sana tidak ada burung.”

Pulau Burung sekarang menjadi simbol harapan bagi warga Mayangan dan destinasi wisata yang menarik dengan cerita perjuangan manusia melawan alam.

Menurut Kepala Desa Mayangan Darto, ada empat RT di desanya yang terkena dampak kenaikan permukaan air laut yang signifikan. Dua RT sebelumnya bahkan digunakan sebagai persawahan, tetapi warga akhirnya mengubahnya menjadi tambak karena permukaan air laut yang meningkat. Sekarang, dua RT tersebut sudah tidak ada lagi karena terendam air laut.

Lebih dari 300 kepala keluarga (KK) mengalami kerusakan secara langsung dan rob karena air laut menyusup ke rumah-rumah warga. Ada yang beruntung pindah ke dataran yang lebih tinggi, ada yang bertahan tetapi meninggikan rumah mereka, dan ada yang pasrah melihat rumah mereka terendam seperti “Atlantis”.

Darto mengatakan, “Hampir semuanya menjadi nelayan karena tambak terendam dan kita juga tidak punya sawah.”

Dato juga berbicara dengan Pemkab Subang tentang hal itu untuk mencegah abrasi di Mayangan. Namun, ternyata itu membutuhkan banyak uang.

Dia mengatakan, “Kami mendapatkan fenomena rob yang tidak ada surutnya, jadi si tambak-tambak kami terendam, tanggul lempes, hancur karena rob tidak pernah surut dan masuk ke rumah-rumah warga.”